Allah SWT berfirman: “Dan Kami pasti menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampailkanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.{QS. Al-Baqarah (2): 155}. Allah SWT juga berfirman: “Dan sungguh Kami benar-benar akan menguji kamu sekalian sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu.” (QS. Muhammad [47]: 31)
Sudah lama sekali sih sebenernya, beredar sebuah screen capture tulisan di timeline facebook saya, isinya sih kurang lebih tentang opini mengenai kenapa harus mencari istri yang mau diajak susah? toh, sudah capek-capek disekolahin sama orang tuanya and bla bla bla, kalau mau susah ya sendirian aja, jangan ajak anak orang.
Kurang lebih isinya begitu, intinya sih kurang setuju kalau ada laki-laki yang ketika ingin melamar punya "syarat" asalkan mau diajak susah. Begitu.
Sepenglihatan saya, yang setuju lebih banyak dibandingkan yang tidak setuju. Bahkan saya juga lupa apakah memang benar ada yang tidak setuju, seingat saya sih malah hampir semua netizen yang saya baca komentarnya mengaminkan tulisan tersebut.
Tentang Menikah
Sepengetahuan ilmu saya yang cetek ini, memang syarat menikah itu tidak rumit. Bahkan ada yang bilang rukun nikah itu cuman mempelai pria dan wanita, wali, saksi, dan ijab kabul, yang ribet itu katanya hajatan sama pestanya.
Ya memang Islam juga menganjurkan adanya walimah (pengumuman) untuk memberitahu adanya sebuah pernikahan antara dua manusia supaya tidak timbul fitnah dikemudian hari. Tapi ya bentuk pengumumannya jadi rupa-rupa. Dari yang sederhana sampai yang mewah luar biasa.
Kali ini saya gak mau bahas soal itu sih. Ini mah balik ke individu masing-masing.
Laki-laki Harus Mapan
Ketika ditanya soal pernikahan, pasti setiap laki-laki dan perempuan punya kriteria calon pasangan masing-masing. Ada yang punya standar tinggi, tapi ada juga yang pasrah dengan pilihan Allah, asalkan sudah memantaskan dan membaikkan diri, haqqul yaqqin bahwa Allah akan memberikan jodoh yang sepadan.
Salah satu kriteria yang mencuat adalah tentang kemapanan. Mapan disini menurut saya identik dengan materi. Seperti pekerjaan/penghasilan, tempat tinggal, dan fasilitas yang menunjang kebutuhan rumah tangga lainnya.
Saya sendiri tidak menafikan kalau materi adalah salah satu unsur penting dalam hidup ini. Tapi tetap harus disikapi secara proporsional.
Kembali ke pernyataan ketika nyari istri mbok jangan yang mau diajak susah, kalau mau susah ya gak usah ngajak anak orang.
Izinkan saya cerita dulu tentang kisah tetangga saya.
Ketika kecil saya berteman dengan seorang anak perempuan, sebut saja namanya Melati. Keluarganya bisa dibilang cukup harmonis, terdiri dari ayah ibu dan dua orang anak, Melati dan kakak laki-lakinya. Mereka tinggal di rumah sederhana, ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, dan ayahnya seorang wiraswasta, kadang berkebun, kadang narik ojeg, kadang berjualan. Tidak menentu, tergantung musimnya, mana profesi yang sekiranya menghasilkan uang lebih banyak.
Karena ibu dari melati ini seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja, ia seringkali berkumpul dengan teman sesama IRT, biasanya sih arisan, senam, acara posyandu, dll. Ibunda melati ini bisa dibilang cukup aktif di masyarakat. Hingga suatu hari pergaulan antar ibu-ibu ini membuahkan sebuah tekanan tersendiri.
Sudah bukan hal baru ketika kumpul-kumpul, ibu-ibu pamer tas baru, baju baru, perhiasan baru. Walau memang tidak gamblang, tapi aroma pamer pasti terdeteksi dengan cepat.
Rupanya ibunda Melati ini merasa "kepanasan" dan tentunya ingin segera mengukuhkan eksistensi diri. Ia mulai merasa kekurangan dan terus kekurangan.
Melihat ekonomi keluarganya yang pas-pasan, ia berpikir keras mencari cara supaya kehidupan "sosialita" nya tercukupi, hingga pada klimaksnya ibunda Melati ini tak tahan lagi dengan kondisi keluarganya sendiri.
Dan akhirnya, di sebuah hari yang pasti menjadi hari paling getir bagi Melati, sang ibu angkat kaki dari rumah. Ia meninggalkan suami, Melati, dan juga kakaknya. Dan pada saat itu usia melati baru saja melewati fase balita. Melati pun sakit keras kala itu, setelah sang ibunda hengkang dari rumah.
Ibunya pergi tanpa jejak, hingga sekarang pun tak jelas ada dimana. Bahkan sekarang Melati sendiri sudah menikah dan punya anak. Kabar terakhir yang saya dapat, ibunya sekarang sakit keras, dan ketika pergi dulu ia memutuskan menikah dengan laki-laki lain.
Lain lagi cerita yang ini, tentang keluarga (sebut saja bu Dahlia).
Suami Bu Dahlia di PHK dari sebuah pabrik. Ia seorang buruh yang terpaksa di PHK karena perusahaannya bangkrut karena barang produksinya terdesak barang-barang dari China.
Bu Dahlia akhirnya terpaksa bekerja, dan suaminya tetap di rumah. Kasarnya sih mereka bertukar peran, tiap pagi bu Dahlia pergi bekerja, sedangkan suaminya mengerjakan pekerjaan rumah termasuk mengantar jemput anaknya ke sekolah.
Kalau menurut buku yang saya baca sih, kondisi seperti ini hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat, atau istilahnya solusi sementara. Tetap saja kedepan sang suami harus bekerja mencari nafkah, sesuai dengan fitrahnya sebagai suami.
Hidup Berputar Seperti Roda
Seperti kisah yang saya ceritakan di atas, pada awal pernikahan, suasana sudah sangat stabil, pas, mapan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gak usah takut akan dibawa susah, toh suami sudah punya penghasilan yang cukup.
Tapi coba kita lihat? di tengah perjalanan pernikahan, cobaan itu datang tanpa tanda-tanda.
Kalau saja sang istri tahu bahwa suatu saat suaminya akan di PHK apakah ia akan tetap menerima lamaran sang suami?
Biduk rumah tangga itu pasti akan dihantam badai, baik besar atau kecil. Dan menurut saya disitulah letak ujian susahnya. Ujian yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Jadi, kalaupun mau diajak susah, bukan berarti kita melihat kondisi dari awalnya saja.
Bisa jadi kita menikah dengan direktur perusahaan, tapi setelah dua tahun menikah ia terkena penyakit berat dan tidak bisa bekerja lagi. Atau kita menikah dengan orang super kaya, tapi Allah menakdirkan tidak diberi keturunan.
Apakah kalimat "mau diajak susah" masih berlaku?
Menurut saya, yang namanya menikah itu ladangnya ujian dan masalah, jadi wajar kalau sang calon suami bertanya "mau gak diajak susah?"
Karena susah ini bisa datang kapan saja, tidak mesti diawal pernikahan. Karena memang badai-badai rumah tangga itu muncul setelah bahtera didayung ke tengah lautan.
Susah itu bisa berupa kekurangan harta, susah punya keturunan, menderita penyakit, dan lain sebagainya.
"kan kita udah punya persiapan? tabungan, asuransi, investasi, dll"
Ya memang manusia boleh berencana, tapi rencanaNya, siapa yang mau menyangkal?
Jadi, menurut saya, sangat relevan kalau calon suami menanyakan sebuah kalimat,
"Wahai calon istriku, mau kah kamu diajak susah bersamaku?"
Karena hakikatnya menikah itu memang untuk menghadapi yang susah-susah, kini atau nanti, bagaimanapun bentuknya.
Jalan untuk "susah" memang sangat misterius. Bahkan ada juga yang pada awal menikah susahnya minta ampun. Ngontrak sana sini, pinjam uang sana sini, tapi karena Allah Maha melihat usaha hambaNya, kemudian ia memberikan kecukupan untuk hidup di muka bumi.
Berapa banyak kisah istri yang sukses "diajak susah" kemudian mensukseskan suaminya menjadi orang yang tidak dipandang sebelah mata, menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarkat.
Mungkin jika disurvey, setiap orang pasti mau diajak senang, dan pasti tidak mau diajak susah.
Jadi mungkin logika laki-laki "kalau mencari pendamping yang mau diajak senang terus, antrian pasti mengular. Tapi yang mau diajak tetap setia di saat bumi menghimpit, yang berpikir seribu kali jauh lebih banyak, dan itulah perempuan yang sedang dicari oleh laki-laki"
Pantaslah kalau ada kalimat yang mengatakan bahwa ujian seorang istri adalah dikala suami sedang susah, sedangkan ujian bagi suami adalah ketika sedang sukses luar biasa.
Percaya atau tidak, yang namanya menikah pasti ada fase di bawah dan juga di atas. Salah satu fase itu menjadi ujian bagi suami dan juga bagi istri.
Dan memang benar apa yang dikatakan Umar Bin Khattab RA.
"Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah diantara keduanya yang baik bagiku"
Jadi, kira-kira mau gak diajak susah? #nanyadepankaca
Tidak ada komentar