biasanya memiliki daya juang yang rendah"
-Anonim-
Entah kapan dan dimana saya mendengar kalimat di atas, saya sendiri lupa.
Mungkin saya lupa kapan dan dimana, tapi saya tidak pernah lupa dengan isi kalimatnya. Kalimatnya menohok! Hati saya.
Pikiran saya langsung mengawang kemana-mana. Teringat banyak cerita, cerita saya sendiri, dan cerita-cerita orang lain.
Saya tidak sepenuhnya sependapat dengan kalimat di atas, tapi jujur kalimatnya membuat saya mikir keras.
Saya teringat dengan cerita seorang kenalan. Dia seorang pengusaha sukses, dan sekarang sudah menjadi anggota legislatif. Karirnya meroket semenjak menikah di usia yang cukup muda dan memiliki dua buah hati.
Awalnya ia hanya pengusaha biasa, dia menjual barang-barang second yang masih layak pakai hingga bisnis transportasi. Dia juga berani untuk menggadaikan rumah orang tuanya demi memiliki modal usaha. Lama kelamaan bisnisnya berkembang, merambah ke dunia properti. Tahu sendiri kan ya? bisnis properti itu untungnya besar, secepat kilat ia pun pindah dari rumah kontrakan ke rumah baru yang cukup besar, memiliki beberapa mobil, bahkan mobilnya disewakan.
Di usia anaknya yang masih balita, sukses telah datang. Bahkan ia didapuk menjadi anggota legislatif karena prestasinya sebagai pengusaha muda yang sukses.
Tapi suatu saat ia menumpahkan keluh kesahnya pada rekannya. Ia mengatakan bahwa ia mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya kelak.
Loh bukannya dengan harta yang ia miliki sekarang justru ia bisa memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya? Ia bisa memilih sekolah yang berkualitas untuk menunjang pendidikan dan masa depan anaknya dengan mudah.
Tenyata pemikirannya tidak sesederhana itu.
Hal yang paling ia takutkan adalah "daya juang" anaknya kelak. Ia khawatir, dengan hidupnya yang sudah sangat mapan seperti sekarang, anaknya tidak akan memiliki daya juang yang tinggi untuk mengarungi kehidupan mereka di masa depan.
Rumah nyaman, naik turun mobil, makan kenyang, bermain puas, apa lagi? anak-anaknya sudah hidup dengan sangat nyamannya.
Ia pun pernah berbincang dengan sang istri, membicarakan kegundahannya ini. Malah ia pernah berkata pada istrinya,
"lebih baik kita pindah lagi kekontrakan seperti dulu, rasa-rasanya hidup seperti dulu lebih enak, anak-anak tidak melihat kita memiliki harta berlebih, saya hanya takut ketika anak-anak melihat kita memiliki kelebihan harta, mereka malah malas-malasan dan tidak mau memperjuangkan sesuatu untuk diri mereka sendiri"
-----
Saya sangat suka membaca biografi tokoh besar dan menginspirasi. Rata-rata memang memiliki kisah hidup yang "memilukan" ketika kecil. Hingga kemandirian menjadi sebuah pendidikan yang mengakar sejak mereka berusia anak-anak dan membuat daya juang mereka sangatlah tinggi.
Mario Teguh pernah bercerita bahwa dia pernah menggoreng tempe menggunakan air karena tidak punya uang, sedang adiknya menangis kelaparan. Tantowi dan Helmi Yahya juga setiap hari selalu nebeng truk susu untuk ke sekolah karena tidak punya ongkos.
Jangan jauh-jauh deh, saya juga sering kepo-in Blognya mbak Nayarini, yang sekarang bekerja di Inggris karena sukses merubah hidupnya berawal dari beasiswa. Dan memang kalau baca latar belakang keluarganya, mbak Naya terbiasa mandiri sejak kecil.
Saya sendiri dari keluarga sederhana, ibu dan bapak saya gak lulus sekolah dasar. Tapi dengan kerja keras, saya bisa kuliah hingga sarjana. Alhamdulillah. Dan memang, dalam prosesnya, saya terbiasa dengan kemandirian dan "kesulitan-kesulitan". Ya walaupun saya sendiri belum bisa sukses seperti orang lain, tapi saya merasa bersyukur bisa sampai ke titik ini.
Sekarang tiba giliran saya menjadi orang tua. Pertanyaan besarnya sih, memang ada ya orang tua yang ingin anaknya hidup susah?
Kalau pake logika sih ya gak ada.
Orang tua pasti ingin anaknya hidup nyaman, dan seringkali orang tua mengatakan agar anaknya "tidak seperti bapaknya" mau apa-apa susah.
Oke. Itu benar. Semua orang tua pasti setuju.
Tapi, pertanyaan besar abad ini adalah: bagaimana variabel "daya juang" ini bisa tumbuh dengan baik pada diri anak dengan pola hidup yang sudah nyaman?
Sejauh ini, saya belum kepikiran untuk memberikan "tantangan" untuk anak. Toh anak saya masih empat tahun, paling banter saya memberikan tantangan untuk menabung di celengan jika ia menginginkan sesuatu. Selebihnya, saya masih memberikan fasilitas yang cukup nyaman.
Saya pernah membaca bahwa Bill Gates sama sekali tidak mewariskan hartanya untuk anaknya. Seluruh hartanya diwariskan untuk yayasan amal. Kalau anaknya mau kaya seperti bapaknya, ya usaha sendiri. Begitu kata Bill Gates.
Tapi apakah tindakan itu sudah benar? padahal dalam hukum Islam juga ada tata cara pembagian hak warisan.
Hmmm... saya pun berpikir lagi.
Saya pun pernah berdiskusi dengan Abbiy, tentang anak yang memiliki warisan orang tua yang berlimpah, atau istilah kerennya mah "kaya dari sono-nya". Ia tak perlu repot bekerja keras, karena semua fasilitas sudah diberikan untuknya.
Akhirnya kita sepakat bahwa kalau itu semua takdir, rezeki ada yang Maha Mengatur. Jadi, itu mah gak usah dibahas, dan gak boleh jadi sumber dengki.
Balik lagi ke topik tentang daya juang anak.
Saya harus banyak belajar bagaimana menyiapkan tantangan-tantangan untuk anak ditengah "kasih sayang" yang seringkali ingin diberikan orang tua kepada anaknya.
Kita ingin anak merasa nyaman dalam hidupnya, tapi tidak kehilangan daya juang dan semangat bekerja keras meraih cita-cita. Kita ingin anak memiliki ketenangan dalam hidup, tetapi tetap merasa gundah ketika ada mimpinya yang belum terlaksana. Kita ingin anak merasa senang dalam hidupnya, tetapi merasa risau ketika perjuangannya belum tuntas.
Mungkin ini akan menjadi tantangan terbesar bagi keseluruhan hidup saya sendiri. Menumbuhkan daya juang dan semangat pantang menyerah dalam diri anak. Membuatnya bisa membaca bahwa segala sesuatu harus didapatkan dengan usaha tanpa patah semangat. Tidak merengek meminta bantuan orang tua belaka.
Ada yang mau berbagi cerita seputar menumbuhkan daya juang anak?
Sharing Yuk :D
<span data-sociabuzz-verification="c2c6faa0" style="display: none;"></span>
<span data-sociabuzz-verification="c2c6faa0" style="display: none;"></span>
Huwow ada bang Deri.. iya emang jd ortu dilematis juga, apalgi klo anak udh dewasa nanti.. ada jg bbrp ortu yg membuat anaknya nyaman terus.. jd anaknya sering bgt putus asa klo ada masalah.. dan seringnya ngerengek ke ortu minta bantuan..
BalasHapushihi.. mulai skrg harus lbh mau berjuang ya.. apalagi klo punya mimpi besar, hrus berani diwujudkan.. :)
BalasHapussepakat mbak, tapi mmg kenyataan ga semudah teori ya.. hihi. Aku kadang suka lembeknya di mendisplinkan.. klo ttg fasilitas msh bs ngebatasin. tp disiplinnya itu loh, konsisteni ortu penting bgt biar anak jd ga bngung sndiri..
BalasHapushiyaaa.. tth malah kembar ya, harus ekstra.. msh kecil emg kita suka bngung gmn mulainya.. klo aq ngerasain di usia paud ky kifah skrg hrs mulai dikasih tantangan2.. tapi kdg hati emak selemah ngelihat diskonan teh.. liat anak org lain dimanjain emaknya.. jd "ngiri" juga.. *emak lemah iman* -_________-
BalasHapus